Pendekatan Andil Garapan untuk Perhutanan Sosial di Jawa


Bagikan Bagikan
Blog Single


Oleh: Swary Utami Dewi
(Anggota TP3PS, Pendiri NARA dan KBCF, Climate Leader Indonesia)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terlihat melangkah maju untuk memastikan bahwa petani kecil dan guremlah, yang betul-betul penggarap, yang berhak memanfaatkan akses kelola Perhutanan Sosial 35 tahun di kawasan hutan negara di Jawa. Ini dilakukan secara paralel dengan upaya menciptakan kondisi hutan yang lebih baik dan kondisi sosial yang kondusif.

Mengapa hutan di Jawa menjadi fokus perhatian yang harus segera dibenahi negara? Alasan krusialnya terungkap dalam paparan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Bambang Supriyanto, pada sesi Webinar Perhutanan Sosial Nasional (Pesona) yang digelar Kamis, 21 Juli 2022. Dirjen Bambang menjelaskan bahwa hutan di Pulau Jawa merupakan penyangga ekosistem yang penting. Selain itu, jutaan masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar hutan secara faktual menggantungkan kehidupannya dari kawasan hutan negara. 

Selama ini, seperti yang sudah diketahui, kawasan hutan negara di Jawa dikelola oleh suatu BUMN sektor kehutanan. Baikkah hutan di Jawa selama dikelola oleh BUMN tersebut? Memang ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Namun terlepas dari semua pro-kontra yang ada, lahan kritis di Pulau Jawa yang berada di kawasan hutan, menurut catatan KLHK seluas 472 ribu hektar. Fakta lain yang tidak kalah pentingnya adalah banyaknya masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), dari 25.863 desa yang berada di sekitar kawasan hutan, ternyata 36,7% masuk kategori miskin. Angka kemiskinan di Pulau Jawa sendiri sebanyak 14 juta orang, atau setara dengan 52% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 26,5 juta penduduk (BPS, 2021). Selain itu, para pegiat pemberdayaan masyarakat dan Perhutanan Sosial kerap melontarkan kritik akan adanya fenomena berupa praktik-praktik tertentu yang makin memberatkan kehidupan, bahkan meminggirkan petani kecil dan gurem di Jawa. Jadi terlihat di sini ada berbagai problem ekologis dan sosial yang harus segera dibenahi Pemerintah.

Dengan berbagai pertimbangan, utamanya untuk menindaklanjuti mandat pembenahan tata kelola hutan di Jawa, maka KLHK menerbitkan aturan 'Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus' (KHDPK). Ini merupakan kebijakan perbaikan pengelolaan kawasan hutan di Jawa, yang telah diatur dalam Undang Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan pasal 125 ayat (7). Kebijakan KHDPK ini sendiri mengatur 6 hal, termasuk Perhutanan Sosial. Sembari menunggu aturan KHDPK khusus Perhutanan Sosial yang akan segera dikeluarkan, berbagai hal mulai dimatangkan oleh tim KLHK. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pendekatan andil garapan.

Menurut saya, pendekatan andil garapan dalam perhutanan sosial merupakan sesuatu yang cukup efektif dan kreatif dalam menguatkan posisi para petani kecil dan gurem, yang memang faktual menggarap kawasan hutan negara. Selama ini muncul pertanyaan bagaimana cara jitu untuk melindungi petani miskin yang betul-betul penggarap, dan tujuan kelolanya memang sangat mendasar, yakni mengelola lahan untuk bertahan hidup. Model "kesaksian" di antara petani yang memiliki andil garapan menjadikan pendekatan ini memiliki unsur partisipatori yang cukup kuat. Suara tingkat tapak jelas menjadi kunci di sini. Sistem 'cross check' kesaksian bersama-sama petani tetangga garapan sekaligus merupakan sistem uji kesaksian yang bisa menguatkan siapa para petani yang betul-betul menggarap.Tentu saja ada batas luasan maksimal per andil yang bisa dikelola setiap petani untuk tujuan pemerataan dan keadilan -- utamanya di wilayah yang petaninya banyak, sementara luasan lahan sangat terbatas.

Andil garapan ini sifatnya memang individual. Namun pada saat semua yang memiliki andil sudah terpeta dan terdata, tingkatannya naik menjadi kelola kawasan, dengan kelembagaan berbasis Kelompok Perhutanan Sosial (KPS). Penguatan KPS yang menaungi  para petani inilah yang kemudian menjadi hal penting selanjutnya dalam rangka peningkatan kapasitas dan penguatan kohesivitas positif sesama anggota kelompok. Inilah yang perlu dilakukan dalam lingkup kelola kelembagaan.

Kemudian, dalam tahap awal, para pendamping, penyuluh dan mitra terkait diharapkan bisa melakukan pencermatan terhadap Rencana Kerja Perhutanan Sosial (RKPS) kelompok tersebut dalam rangka memastikan apakah RKPS ini sudah tepat dengan potensi, kemampuan kelola kelompok dan sebagainya. Dalam hal ini, aspek pendampingan harus makin diperkuat. Cakupan kerja Perhutanan Sosial pun bisa berkembang menjadi lintas sektoral maupun lintas wilayah. 

Selain itu, nantinya akan ada pembagian peran para pihak untuk mendorong penguatan KPS sehingga kelompok bisa makin maju dan mampu mengelola hutan secara lestari dan memberi manfaat penghidupan bagi para petani tersebut. Akan ada urusan perbaikan kualitas produk, pasar yang baik, keberlanjutan usaha dan sebagainya. Semuanya ini tetap harus dijalankan berdasarkan prinsip keseimbangan ekonomi, ekologi dan sosial. Tentu saja model ataupun pendekatan ini harus terbuka untuk dievaluasi atau dikembangkan secara adaptif sesuai dengan kekhasan dan keunikan masing-masing lokasi kelompok tani.

Demikianlah, menurut saya, salah satu "kebaharuan" dan inovasi khas perhutanan sosial di Jawa, yang diyakini bisa cukup jitu, terutama untuk lokasi atau tempat yang rawan free rider, penduduknya banyak, namun lahan terbatas. Semua ini dimulai dari kepastian andil garapan.

Dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam menentukan andil garapan, akan ada kepastian bahwa petani penggarap miskin faktual-lah yang betul-betul terwadahi. Di sini jelas ada semangat dan tindakan nyata yang menunjukkan bahwa negara hadir dan berperan melindungi, sekaligus memfasilitasi petani kecil dan gurem, sesuai kebutuhan dan perkembangan masing-masing. Inilah cita-cita Perhutanan Sosial: petani miskin bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan manusiawi, dengan tanpa mengabaikan penataan ekologi yang lestari dan kehidupan sosial yang kondusif.