Perhutanan Sosial yang Historik dan Bermakna


Bagikan Bagikan
Blog Single
Oleh: Swary Utami Dewi

Pada 3 Februari 2022, Presiden Republik Indonesia Jokowi, didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, kembali menyerahkan surat keputusan (SK) persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial (PS). Kali ini Presiden menyerahkan 722 SK yang tersebar di 32 provinsi. Luasan totalnya sekitar 469.670 ribu hektar. Dan ada lebih dari 118 ribu kepala keluarga (KK) yang namanya tergabung dalam SK yang diserahkan kali ini. Juga ada 12 SK Hutan Adat, dan 2 SK indikatif Hutan Adat. Total hutan adat tersebut seluas 21.288 hektar dan menaungi 6.170 KK. Tentunya ini suatu capaian yang patut disyukuri karena memberikan akses legal sekaligus tapak masa depan yang lebih baik bagi petani dan masyarakat kecil beserta keluarganya.

Sebelumnya telah tercatat, sampai dengan 25 Januari 2022, PS sudah menjangkau luasan 4,9 juta hektar, dari total alokasi 12,7 juta hektar. Jumlah persetujuan yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian LHK menaungi lebih dari 1 juta KK. Tepatnya 1.048.771 keluarga yang sudah masuk dalam daftar SK. Dari segi usaha, tercatat sudah ada 8.136 unit Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) atau sejenisnya. Nah, tentunya tambahan SK persetujuan baru pada 3 Februari 2022 ini menambah daftar SK, jumlah KK dan luasan hektar yang dikelola masyarakat dalam PS.

Penyerahan SK tersebut di atas juga membawaku kembali pada peristiwa belasan tahun lalu, tepatnya pada 2007 di Yogyakarta. Saat itu diadakan rangkaian kegiatan dalam rangka launching "Perhutanan Sosial" yang melibatkan ratusan petani dan pegiat kehutanan terkait dari berbagai pelosok tanah air. Nama kegiatan tersebut Pekan Raya Hutan dan Masyarakat. Memang saat itu masih belum ada istilah atau nomenklatur Perhutanan Sosial. Konteksnya ketika itu pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Dan bentuk atau skema yang mulai diakui di era tersebut adalah Hutan Kemasyarakatan -- yang lalu diikuti beberapa bentuk lain, yakni Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat.

Ingatanku kembali bukan tanpa alasan. Bagiku, ajang 2007 itu begitu HISTORIK. Ia juga BERMAKNA. Historik karena baru pertama kali secara nasional, petinggi pertiwi, yakni Wakil Presiden Republik Indonesia (Jusuf Kalla), beserta Menteri Kehutanan (saat itu dijabat M.S. Kaban) berkenan hadir di acara besar petani dan masyarakat hutan yang berskala nasional. Lalu, peristiwa itu juga bermakna. Bermakna karena ia merupakan gong besar pengakuan masyarakat "boleh" mengelola kawasan hutan secara legal. Juga bermakna karena negara mengakui dan melindungi hak masyarakat kecil dan para petani gurem untuk bisa mengelola serta menjaga hutan bagi kehidupan dan penghidupan yang lebih baik.

Aku ingat saat itu ada pertemuan dengan belasan tokoh Kelompok Tani Hutan (KTH) yang berkumpul untuk persiapan, beberapa hari menjelang launching. Mereka adalah para petani penggerak Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Yogyakarta. Seperti kita ketahui, Yogyakarta merupakan titik lama di mana HKm hidup dan berkembang, selain Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Beberapa nama yang saat itu hadir adalah Ngabdani (KTH Tani Manunggal), Pardiastuti (KTH Sedyo Rukun), Tambiyo (KTH Sedyo Makmur) dan Sardi (KTH Sedyo Lestari). Juga ada nama-nama lain seperti Suparjan dan Wardoyo. Mereka semua tergabung dalam Paguyuban HKm di Yogyakarta. Saat kita bertemu untuk diskusi persiapan launching, beberapa dari petani tersebut menitikkan air mata. Terharu karena tidak menyangka mimpi puluhan tahun, bahkan turun temurun, untuk bisa legal mengelola kawasan hutan terwujud. Aku dan beberapa kawan juga turut terharu saat itu.

Tahun 2021, tepatnya akhir Mei 2021, 14 belas tahun sesudah launching Perhutanan Sosial di Yogyakarta, aku datang kembali dalam kapasitas sebagai tim evaluasi. Aku mendapatkan perkembangan yang luar biasa dari beberapa HKm tersebut. HKm Mandiri di Kalibiru mungkin sudah tidak perlu disebut lagi. Bisa jadi Kalibiru menjadi salah satu motor penggerak majunya ekowisata berbasis masyarakat di Indonesia. 

Selain Kalibiru, masih ada lagi contoh menarik, yakni HKm Punthuk Kepuh yang dikelola oleh KTH Wonorejo. Simaklah pengakuan berikut ini dari sang ketua HKm, Suparman. "Kami tidak menyangka bisa sejauh ini. Sewaktu menerima izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) tahun 2007, pikiran kami hanya untuk mengembalikan fungsi hutan. Dulu tempat ini dan sekitarnya disebut Wono Pejaten oleh leluhur kami. Wono berarti alas atau hutan, pejaten artinya jati. Leluhur kami dulu tidak kekurangan air karena keberadaan alas. Namun ada masa di mana tanah kami menjadi gundul. Pohon sangat jarang ditemui. Kering. Air susah didapat. Kami harus berjalan jauh mengambil air. Perempuan mengambil air di blek (bekas kaleng minyak) yang digendong di punggung. Laki-laki memikul blek air dengan bambu di bahunya. Maka melalui HKm, kami berjuang untuk menghijaukan wilayah ini. Dan sekarang terasa hasilnya. Dulu susah air dan kering. Sekarang air mudah diperoleh. Binatang-binatang hutan, utamanya burung, makin banyak. Udara lebih sejuk. Kami punya rencana masa depan.” Inilah garis besar tutur syukur gembira dari Suparman, sang Ketua KTH Wonorejo, yang diceritakan padaku akhir Mei 2021 lalu. Banyak lagi testimoni yang menunjukkan perkembangan kehidupan dan penghidupan yang lebih baik dari masyarakat kecil dan petani gurem sesudah mendapatkan akses legal Perhutanan Sosial tersebut.

Yang membuatku kembali terharu pada akhir Mei 2021 lalu, saat beberapa tokoh petani, yang dulu begitu gagah kutemui, sekarang sudah sepuh. Wardoyo, yang dulu merupakan Sekretaris Paguyuban HKm, kurang lebih berkata, "Saya ingat Ibu datang dulu. Kalau dulu tidak ada pengakuan HKm dari pemerintah, entah bagaimana nasib anak cucu kami sekarang.' Dan saat itu aku hanya bisa terdiam merenungi. Wardoyo adalah petani sepuh yang kini masih bisa menjadi saksi hidup daya juang para petani PS, khususnya petani HKm di Yogyakarta. Beberapa tokoh senior HKm sudah wafat. Sebut saja Ngabdani (KTH Tani Manunggal), Pardiastuti (KTH Sedyo Rukun) dan Tambiyo (KTH Sedyo Makmur). Al Fatihah.
 
Sekelumit cerita dari tingkat tapak itu ternyata memang menunjukkan betapa historik dan bermaknanya PS itu. Hingga kini ia masih menjadi nafas hidup bagi jutaan petani marjinal di Indonesia. Bagi seorang janda bernama Sinem yang menggantungkan kebutuhan makan dari lahan kecil seluas 0,2 hektar di Jawa. Bagi seorang Silam, yang hampir mendekati usia 70 tahun, yang sebelumnya kerja serabutan menjadi tukang atau kuli bangunan karena takut curi-curi menggarap lahan negara. Kini, dia menjadi petani yang dengan tenang mengelola lahan. Tentu masih banyak nama lain, dan sejauh ini jumlahnya jutaan yang merasakan manfaat. Jika 1 juta KK saja yang sudah terlibat, tinggal dikali berapa orang dalam satu KK. Paling tidak antara 4 sampai 5 juta orang dari kelompok marjinal yang telah terselamatkan hidupnya melalui Perhutanan Sosial. Belum lagi akan ada tambahan jumlah lain dalam tahun ini dan tahun-tahun mendatang.

Mengapa aku memaparkan contoh tersebut di atas? Mengapa aku juga menegaskan keharuan dan renunganku tadi? Tulisan reflektif ini kumaksud untuk membuka lebih dalam pikiran, hati dan nurani pihak-pihak tertentu yang masih ragu atau belum memahami esensi PS. Yang masih menilai PS bukan untuk rakyat. Yang melihat kegiatan PS bisa memberikan dampak buruk bagi kegiatan usaha atau institusi tertentu. Yang masih merasa PS adalah hal yang baru ada sekarang dan karenanya tidak mengakar kuat di masyarakat hutan, utamanya para petani gurem, masyarakat adat di desa dan kelompok marjinal tertentu.

Maka, kuakhiri tulisan ini dengan penyataan tegas. PS itu penting dan bernilai. Ini berlaku sejak dulu sampai sekarang, bahkan untuk masa depan sebahagian rakyat Indonesia. Dan daya juang PS adalah daya juang abadi dan berkelanjutan. Mari selalu berjuang untuk Perhutanan Sosial.