Kisah Nibuan, Penjaga Mata Air Bukit Cogong


Bagikan Bagikan
Blog Single

Oleh: Swary Utami Dewi 

Bahasanya lugas dan jelas. Senyumnya sesekali mengembang saat bertutur. Itulah sosok Nibuan Syah yang kutemui pada 14 Desember 2021. Aku menjumpainya saat berkunjung ke BCL. BCL yang dimaksud bukanlah sang penyanyi tenar itu. BCL di sini adalah Bukit Cogong Lestari, suatu kawasan ekowisata yang dikelola masyarakat pengelola Perhutanan Sosial di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Kawasan ini masuk dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Lakitan Bukit Cogong. Sekitar 90 kepala keluarga gabungan masyarakat asli Musi Rawas dan masyarakat lokal dari berbagai latar membaur membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Wana Manunggal. Mereka berasal dari desa setempat, Desa Sri Mulyo, dan desa tetangga yang memang sudah turun temurun mengakses kawasan hutan di Bukit Cogong ini. Pada 2015, KTH tersebut mengantungi persetujuan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Luasannya sekitar 380 hektar. Terdiri dari 100 hektar kawasan lindung dan selebihnya kawasan kelola agroforestri masyarakat.

Nibuan, yang lahir 1963, bercerita, bagaimana dirinya mendapatkan kesadaran untuk mengelola dan menjaga hutan. Ia tidak menepik kenyataan bahwa kesadaran itu tumbuh saat dia sudah mengalami pahit getirnya terpaan bencana ekologis di desanya. Bapak tiga anak ini berkisah, dulu saat duduk di sekolah dasar, dia sangat menikmati suara debum kayu besar yang berhasil dirobohkan para penebang dengan kapak beliung. Suara itulah yang kerap ditunggu-tunggunya. “Saya selalu melompat-lompat kegirangan mendengar debuman itu,” tuturnya polos.

Saat makin dewasa, Nibuan mulai mengakses kawasan hutan. Berbagai kegiatan memungut hasil hutan dilakukannya. “Ya saya juga ikut merambah, ” akunya malu-malu. Saat masuk hutan, dia kerap kucing-kucingan dengan polisi hutan. “Biasa dikejar-kejar…” kisahnya, yang lalu diiyakan oleh sang istri yang akrab dipanggil Wati.

Kerusakan ekologis akibat kegiatan-kegiatan destruktif, termasuk penebangan pohon di kawasan lindung, menjadikan “hutan adam” (istilah setempat untuk hutan rimba) di sekitar desanya menjadi rusak. Hutan adam tidak lagi menjadi hutan lebat yang mampu menyangga alam dengan baik. Ia menjadi rusak akibat penebangan dan perambahan.

Lalu petaka itu pun tiba. Pada 1990, Nibuan menuturkan terjadi banjir bandang di desanya. Lalu tahun berikutnya longsor. Alam menjadi tidak ramah lagi bagi masyarakat Desa Sri Mulyo. “Saat itu saya sedang mengerjakan lahan. Tanah yang saya pijak bergerak dan hendak longsor. Saya sempat berlari menyelamatkan diri,” tuturnya menerawang.

Kerusakan alam ini menjadikan Nibuan dan banyak orang di desanya harus bertarung hidup di luar desa. Daerah sekitar hingga Kota Palembang menjadi tempat Nibuan mengadu nasib. Kerja serabutan dilakukan. Kondisi ini tentu membuat Nibuan tidak betah. Tahun 2006 dia memutuskan kembali ke desa untuk mengerjakan kembali lokasi kelolanya di kawasan hutan. Keputusan Nibuan ternyata juga dilakukan banyak orang desa. Mereka mulai pulang kampung. Di saat itu, hutan adam sudah makin pulih karena lama tidak dijamah tangan manusia.

Pada 2008 ada kegiatan sosialisasi tentang arti penting hutan dan lingkungan di desanya. Nibuan dan beberapa kawan petani hutan menjadi peserta pertama yang mengikuti pelatihan tersebut. “Saya tercenung mendengar penjelasan bahwa hutan itu diperlukan bagi semua mahluk hidup. Saya mencaritahu lebih lanjut apa maksudnya dan mengajak kawan-kawan berbincang tentang hal ini. Ternyata memang seluruh mahluk hidup memerlukan hutan,” papar Nibuan tegas. Kesadarannya timbul untuk menjaga hutan.

Tahun 2012, Nibuan dan banyak petani di desanya, juga beberapa dari desa tetangga, bersepakat membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Wana Manunggal. Nama KTH menunjukkan semangat persatuan warga untuk menjaga dan menyelamatkan hutan yang langsung berbatasan dengan desa mereka. Dengan pendampingan yang cukup baik dari Dinas Kehutanan dan KPH setempat, pada 2015, KTH Wana Manunggal memperoleh Surat Keputusan (SK) Hutan Kemasyarakatan (HKm). Nibuan dan para petani yang tergabung di KTH menjadi tahu cara mengelola hutan yang baik dan lestari. KTH ini lalu mengembangkan beberapa Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang berfokus pada ekowisata dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Mereka telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak seperti Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat (BUPSHA), Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Sumatera, Forest Investment Program (FIP) ke-2, juga dinas terkait di provinsi. Hasilnya, memang nyata. Keuntungan ekonomi yang berjalan beriringan dengan penguatan ekologi mulai dirasakan masyarakat.

Kini di masa pandemi, Nibuan mengaku kegiatan KTH tersendat. Namun hutan tetap bisa diandalkan untuk menjamin ketahanan pangan di desa. Semangat KTH Wana Manunggal juga tetap terjaga. “Jangan mewariskan air mata, tapi wariskanlah mata air kepada anak cucu kita,” tegas Nibuan mengakhiri perbincangan.