Penyangga Ketahanan Pangan Halmahera Barat


Bagikan Bagikan
Blog Single
Penyangga Ketahanan Pangan Halmahera Barat

Oleh: Swary Utami Dewi

Maluku Utara rajanya makanan enak. Mengapa kusebut demikian? Karena makanan di sini hanya ada dua kategori: enak dan sangat enak. Tugas ke daerah memang berarti menyantap makanan daerah. Inilah yang juga kualami di Jailolo, ibukota Halmahera Barat, bagian dari Provinsi Maluku Utara. Makan siang dan malam hampir semua tradisional. Kudapan jelang siang dan sore juga rata-rata tradisional. Masyarakat lokal menyebut apa yang kami makan sebagai "makanan kobong" atau makanan kebun. Maksudnya, makanan yang semua bahan dasarnya diperoleh dari hasil kebun lokal masyarakat setempat. Dan kebun ini merupakan bagian dari kawasan hutan dan non-hutan.

Nama makanannya aku tidak hafal semua. Ada yang pisang raja kecil diberi santan asli kental. Penduduk di sini menyebutnya "sayur pisang santang'. Rasanya tidak terlalu manis. Dan ini bukan menjadi kolak yang manis, tapi bagian dari sayur sehari-hari. Yang lazim juga dimasak "santang" adalah kasbi (singkong), batata (ubi jalar), kaladi (keladi), terong (fofoki) dan jantong pisang (jantung pisang). Santannya langsung diambil dari buah kelapa yang lazim tumbuh di halaman rumah atau kebun masyarakat di hutan.

Ada juga tumis daun pepaya dicampur dengan daun kasbi (daun singkong) dan paku (pakis) yang dipotong kecil-kecil. Dicampur ebi sedikit. Rasanya maknyus. Ini disebut "sayur bonga popaya". Juga ada makanan berbahan dasar pepaya muda, jagung, bayam, kangkung dan sebagainya. Untuk tumis, bumbunya bisa campuran bawang merah, bawang putih, blakama (kemangi), brama kusu (sereh) dan goraka (jahe). Semua tergantung selera. Beberapa jenis masakan serupa kari mengutamakan brama kusu, goraka, blakama dan kunyit. Empat bumbu dasar ini lazim disebut rempah kering. Untuk rempah andalan Maluku Utara, yakni pala dan cengkeh biasa digunakan saat memasak jenis kalio dan sup. Untuk makanan penutup, berupa buah pisang jenis lokal seperti pisang susu dan pisang jarum.


Kudapan lokal juga bervariasi. Pagi ini misalnya aku mendapatkan kue mirip kue lumpur yang disebut "angka'. Bahan dasarnya campuran terigu dengan berbagai tepung lainnya. Lalu ada juga komposisi santan, telur, daun pandan dan gula secukupnya. Saat disajikan, di atasnya ditaburi irisan kenari atau kacang tanah. Juga ada pisang setengah matang yang digoreng, disebut pisang "mulu bebe" karena bentuk pisangnya melengkung seperti mulut bebek. Makannya dicocol dengan sambal atau dabu dari campuran rica (cabai), bawang merah dan tomat. Aku juga mencicipi "pisang coe'' yang berbentuk kue lapis basah tebal terdiri dari dua lapisan. Lapisan bawah adalah pisang yang dicampur santan, gula dan jika suka mentega. Lapisan atas merupakan campuran tepung terigu, santan dan gula. Rasanya tidak terkira.

Terkadang, saat sore aku dan kawan-kawan mendapatkan kudapan kacang goreng dan singkong goreng (kasbi goreng). Berbeda dengan kudapan ala kota, meski jenisnya sama, kacang dan singkong di sini benar-benar gurih. Tekstur dan rasanya berbeda. Entah karena digoreng dengan minyak kelapa lokal, dibumbui jenis rempah tertentu atau karena bahan dasar kacang dan singkong diambil langsung dari kebun masyarakat yang memiliki unsur hara yang berbeda. Menurut Cisiany, akrab dipanggil Cici, seorang pendamping Perhutanan Sosial yang berasal dari Halmahera, kasbi yang digoreng misalnya biasanya kasbi muda. Inilah yang menjamin rasa berbeda dari singkong masyarakat tersebut.

Untuk karbohidrat, selain mendapatkannya dari berbagai umbi-umbian dan jagung serta sagu (yang diolah menjadi papeda), beras kerap ditanam sendiri oleh masyarakat di wilayah hutan di gunung. 'Itu disebut padi gunung", jelas Kepala Desa Bobo Jiko, Arman F. Wahid, yang sempat didatangi untuk mencari tahu kehidupan sosial ekonomi masyarakat desanya.

Bagaimana dengan lauk pauk? Karena letak Kabupaten Halmahera Barat tepat di pinggir Teluk Jailolo, tentu saja tempat ini merupakan surga ikan. Tidak usah jauh-jauh. Aku dan kawan-kawan misalnya bisa melihat ikan-ikan berukuran lengan orang dewasa berenang di pinggir pantai saat berdiri di pelabuhan. Ekosistem pesisir laut yang masih sehat mendukung ketersediaan ikan segar dan sehat bagi masyarakat setempat. Maka jadilah aku dan kawan-kawan setiap saat mendapatkan hidangan ikan laut, yang asalnya dari ikan laut segar. Fresh from the sea.

Lahan kebun dan pesisir. Dua hal inilah yang memang menjadi sumber mata pencaharian utama penduduk Halmahera Barat. Kebun dan pesisir layaknya dua tangan yang menunjang kehidupan masyarakat sejak berabad lalu. Saat berbincang dengan sang Kepala Desa, ia menjelaskan masyarakat desanya sudah turun temurun menjalankan dua pekerjaan ini sebagai mata pencaharian. Tidak benar-benar bisa dipisahkan petani atau nelayan saja. Jika musim angin tenang, masyarakat banyak turun melaut. Namun jika musim angin kencang dan ombak tinggi, pilihannya adalah kembali ke atas bukit atau gunung untuk kembali mengerjakan lahan. 

Dari kebun, masyarakat mendapatkan berbagai jenis makanan bernutrisi yang mereka sebut sebagai "makanan kobong" tadi. Sementara dari laut masyarakat memperoleh protein hewani. Semua segar langsung dari alam.

Dari kejauhan, saat duduk di kantor kepala desa, nampak rimbunan pohon di bukit sekitar. Dominasi pala dan cengkeh membuat kawasan ini tetap kokoh. Kawasan ini juga menyangga kokoh pangan masyarakat yang kerap memadukan dua tanaman berkayu keras ini dengan berbagai tanaman buah dan hortikultura. Bahu-membahu dengan pesisir, sistem penghidupan masyarakat Halmahera Barat sudah kokoh terbentuk. Maka, Perhutanan Sosial yang diharap.bisa diwujudkan melalui Program Strengthening Social Forestry (SSF) di 73 desa di kabupaten ini bisa membuat masyarakat makin sejahtera, ekosistem terjaga dan budaya tetap tertata.