The 15th AWG-SF Meeting Kolaborasi, Kunci Sukses Perhutanan Sosial
Bagikan Bagikan
Beradaptasi dengan Teknologi Virtual
Berbagai adaptasi telah dilakukan selama setahun lebih
pandemi Covid-19. Tak terkecuali pertemuan The 15th ASEAN Working Gorup on
Social Forestry Meeting (The 15th AWG-SF Meeting). Di tahun 2021
ini, untuk kedua kalinya, pertemuan AWG-SF terpaksa masih dilakukan secara
virtual. Negara-negara anggota ASEAN kembali harus berteman akrab dengan
teknologi pertemuan virtual. Tegur sapa secara fisik masih digantikan dengan
tegur sapa virtual dari layar laptop masing-masing.
Praktik penerapan teknologi virtual dalam The 15th
AWG-SF Meeting memiliki catatan
tersendiri. Misalnya, delegasi sudah berbicara namun mikrofon masih belum
dinyalakan atau peserta lupa tidak mematikan mikrofon setelah berbicara
sehingga pembicaraan internal delegasi terdengar oleh delegasi negara lain. Selain itu, internet yang kurang stabil
menyebabkan tampilan video terhenti sehingga beberapa delegasi keluar dari
pertemuan.
Tuan
rumah Sesuai Abjad
Pemilihan penyelenggara pertemuan tahunan AWGS-SF diurutkan sesuai abjad nama negara. Tahun ini, Indonesia mendapat giliran untuk menjadi penyelenggara The 15th AWG-SF Meeting. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai panitia penyelenggara melakukan berbagai rangkaian persiapan agar sidang berjalan lancar. Antara lain, memilih sidang dilaksanakan dengan aplikasi pertemuan virtual Zoom karena aplikasi tersebut lebih akrab dan mudah digunakan.
Workshop
Agroforestry Outlook
Dalam pertemuan The 15th AWG-SF Meeting tersebut,
Jo Kumala Dewi, Direktur Kemitraan Lingkungan, didapuk sebagai pimpinan sidang
atau Chair of Meeting. Sementara itu, Erna Rosdiana, Direktur Penyiapan Kawasan
Perhutanan Sosial menjadi Head Delegation of Indonesia.
Berbeda dari tahun sebelumnya, sehari sebelum pelaksanaan
The 15th AWG-SF Meeting, ASEAN Secretariat melakukan workshop
finalisasi rancangan Agroforestry Outlook. Workshop tersebut
diselenggarakan karena masih ada negara-negara ASEAN yang belum memberikan
masukan pada rancangan Agroforestry Outlook, yang telah dua kali
disirkulasikan ke negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, ASEAN Secretariat menyelenggarakan
workshop untuk mendapatkan masukan tentang rancangan Agroforestry
Outlook dari semua anggota ASEAN.
Kolaborasi
Lintas Eselon yang Matang
Selain menyiapkan diri sebagai tuan rumah, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga bertugas mencermati rancangan Agroforestry
Outlook.
Dalam prosesnya, rancangan Agroforestry Outlook
bukan hanya dicermati oleh Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan (Ditjen PSKL), tetapi juga dicermati oleh lintas eselon I di lingkup
KLHK, yang meliputi Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan (Ditjen PSKL), Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai
dan Hutan Lindung (Ditjen PDASHL), Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (Ditjen PHPL), dan Badan Litbang dan Inovasi (BLI).
Badan Litbang dan Inovasi, sebagai pengelola data agroforestry
(wanatani) di dalam kawasan hutan Indonesia, telah banyak memberikan masukan
pada rancangan Agroforestry Outlook. Kerja sama lintas eselon I di
lingkup KLHK juga telah memberikan kekuatan data yang terpadu sehingga delegasi
Indonesia dapat melakukan intervensi dengan sangat matang terkait rancangan Agroforestry
Outlook. Workshop Agroforestry Outlook, pada tanggal 9 Juni 2021,
telah menjadi pembuktian bahwa jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tidak lagi bekerja terpisah-pisah.
Mengkritisi
Definisi Agroforestry
Dalam Workshop Agroforestry Outlook, delegasi
Republik Indonesia di bawah pimpinan Dr. Kridianto, menyampaikan agroforestry
dapat dilakukan di seluruh kawasan hutan Indonesia, salah satunya melalui
Perhutanan Sosial. Delegasi Indonesia juga mengkritisi definisi agroforestry,
yang dinilai kurang tepat karena menyebutkan sawit sebagai bagian dari produk agroforestry
karena negara Indonesia tidak mengijinkan sawit ditanam di dalam kawasan hutan
Indonesia.
Delegasi Indonesia juga mencermati data pengurangan
luasan kawasan hutan yang disampaikan dalam sidang The 15th AWGSF Meeting.
Pencantuman data luasan forest lost berupa angka luasan, telah membuat
seolah-olah data pengurangan kawasan hutan di Indonesia sangat tinggi jika
dibandingkan dengan data pengurangan kawasan hutan di negara-negara ASEAN
lainnya. Padahal, angka luasan kawasan hutan di Indonesia jauh lebih besar
dibandingkan angka luasan kawasan hutan negara-negara ASEAN lainnya. Oleh
karena itu, delegasi Indonesia menyarankan pencantuman data forest lost
dibuat berdasar persentase luasan
pengurangan kawasan hutan di masing-masing negara.
Pertemuan
yang Efektif dan Padat
Workshop virtual selama dua jam, yang membahas Agroforestry
Outlook, berlangsung cepat dan sangat produktif. Masukan-masukan dari
negara-negara ASEAN dicatat dengan cekatan oleh ASEAN Secretariat. Workshop
tersebut ditutup dengan kesimpulan bahwa semua masukan akan dikompilasi dan
disirkulasikan kembali oleh ASEAN Secretariat.
Setelah Workshop Agroforestry Outlook berlangsung
efektif, pertemuan 15th AWG-SF Meeting digelar pada tanggal 10 Juni
2021. Sidang tersebut dibuka oleh Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Dirjen PSKL). Dirjen PSKL menekankan
bahwa Perhutanan Sosial di Indonesia saat ini telah mendapatkan perhatian dan
komitmen yang lebih besar dari pemerintah negara Indonesia. Komitmen tersebut
ditunjukkan dengan pencantuman Perhutanan Sosial secara eksplisit dalam
Undang-Undang.
Dirjen PSKL juga menyampaikan bahwa dalam rangka adaptasi terhadap kondisi pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia telah melakukan pelatihan secara virtual (e-Learning) untuk meningkatkan kapasitas pemegang izin Perhutanan Sosial, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan verifikasi teknis secara virtual. Sebagai langkah inovasi dalam mengembangkan praktik Perhutanan Sosial, Indonesia telah mengenalkan konsep Integrated Area Development, yang dilaksanakan di Kabupaten Belitung dan Kabupaten Lumajang sebagai lokasi percontohan. Inovasi ini mengedepankan kolaborasi lintas Kementerian/Lembaga untuk meningkatkan perekonomian masyarakat berbasis Perhutanan Sosial.
Selain menyampaikan
capaian Perhutanan Sosial di Indonesia, Direktur Direktorat Penyiapan Kawasan
Perhutanan Sosial (Dit PKPS) tersebut juga menyampaikan praktik sukses,
tantangan dan pengembangan, serta kontribusi Perhutanan Sosial terhadap
perubahan iklim.
Country
Report
dari negara-negara ASEAN lainnya juga menarik dan padat sehingga Chair of
Meeting harus beberapa kali mengingatkan Head of Delegation dari
negara-negara peserta bahwa waktu 15 menit yang diberikan untuk paparan sudah
habis.
Praktik Perhutanan
Sosial di ASEAN
Praktik
Perhutanan Sosial di ASEAN telah menunjukkan kemajuan yang berarti. Kemajuan
yang telah dicapai tersebut tidak terlepas dari bantuan mitra yang menjadi
katalisator perkembangan Perhutanan Sosial.
Keberhasilan
praktik Perhutanan Sosial di Malaysia dapat
dilihat dari menjamurnya kegiatan Perhutanan Sosial di Semenanjung Malaysia,
Sabah, dan Sarawak.
Praktik Perhutanan Sosial di Kamboja masih mengalami tumpang
tindih peran antar kementerian dalam pengurusan Perhutanan
Sosial. Di lain pihak, peran Civil Society
Organization (CSO) di Kamboja cukup kental dalam mengembangkan Perhutanan
Sosial.
Perhutanan
Sosial di Myanmar mulai menunjukkan geliatnya sejak tahun 2014. Saat ini seluas
350 ribuan Ha kawasan hutan di Myanmar sudah dikelola oleh masyarakat, yang
merupakan wujud pencapaian sebesar 39 % dari target Perhutanan Sosial di Myanmar. Selain
itu, sebanyak 164 ribuan kepala keluarga Myanmar sudah terlibat dalam program Perhutanan
Sosial.
Filipina
menyampaikan bahwa kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat bertambah 24% atau
seluas 968 ribu Ha dalam kurun waktu tujuh tahun. Perhutanan Sosial di
Filipina telah berkontribusi dalam mengurangi illegal logging dan memberikan kepastian legalitas
sumber kayu di negara tersebut.
Filipina melakukan inovasi Perhutanan Sosial dengan cara menghubungkan kelompok pengelola Perhutanan Sosial dengan lembaga pembiayaan
untuk mengembangkan industri kayu.
Sementara itu, Vietnam mengakui negaranya masih belum memiliki kerangka kerja yang jelas tentang Perhutanan Sosial dan hal tersebut menjadi kendala tersendiri. Kondisi tersebut mengakibatkan lemahnya hubungan antara institusi lokal dengan masyarakat. Padahal negara ini memasang target 50% dari rumah tangga di sekitar kawasan hutan akan mengikuti program Perhutanan Sosial dalam kurun waktu empat tahun mendatang. Vietnam mengakui dibutuhkan kerja keras untuk memenuhi target tersebut.